Semuanya Sudah Berubah

Tanpa diharap, dunia mengenakan topeng, berganti muka. Sudah bosankah Ia dengan bola buminya yang selalu damai, hingga akhirnya Dia merubah semuanya? Masyarakat Jawa yang dahulu rajin saling bersalam semut antar tetangga, sekarang tak pernah menyahut antar sesama. Lupa diri? Bisa jadi. Globalisasi menjadi musuh tanpa disengaja, pisau bermata dua. Kenapa bukan pedang bermata dua? Karena pisau lebih mengarah ke pencuri sedangkan pedang mengarah ke pahlawan. Globalisasi telah mencuri; merampok kesejahteraan manusia secara diam - diam.
Indonesia lupa akan janjinya yang telah menjamur dilupa tuannya. Menjadi budak adalah suatu kebangaan dan kenikmatan daripada hidup untuk diri sendiri. Lalu mengapa bumi pertiwi menghendaki permata khatulistiwa merdeka? Mengapa para proklamator bersusah payah mempertaruhkan darah nadinya, hidup matinya pada negeri kaya kebodohan ini, untuk bangsa yang tidak pernah mengakui sepenuhnya terhadap aliran darah empat puluh lima dalam nadinya?

Seberapa banyak saya bertanya takkan ada yang secara spesifik dapat menjelaskan bagaimana metafora ini terjadi dan tidak ada yang ingin meluruskannya kembali. Bilapun ada, suara mereka ditelan bulat - bulat oleh keras kepalanya sebagian besar anak muda dan pejabat rakus yang seenaknya sendiri, terlena dan bersikeras mem'bahagia'kan diri mereka yang haus kebodohan. Para pahlawan di atas sana meratapi bangsa kita dengan tepuk sebelah tangan seperti Vincent Van Gogh di-php oleh Ursula Loyer. 
Setiap hari senin pagi kita dijemur, dibakar di lapangan sekolah masing - masing dibawah naungan sang saka merah putih sambil melantunkan lagu kebangsaan, baik merdu seperti Novita di X Factor Indonesia maupun dengan suara tenor seperti Arai dalam tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata melengkingkan 'amin' untuk menghina Taikong Hakim bersama kafilahnya. Tapi upacara itu tidak membawa rasa patriotisme pada setiap pelantunnya sekarang, karisma alunan biola W.R Supratman sirna perlahan. Bilapun ada, jiwa patriot mereka dilahap oleh globalisasi seperti Nabi Yunus dilahap oleh Ikan Paus. Bedanya, jiwa patriot yang tertelan ini tidak dimuntahkan lagi.
Dan saya, saat sedang menulis ini saya benar - benar merasa terpukul dan menyesal mengapa saya begitu lemah karena tak bisa melakukan apapun demi bangsa ini. Benar sekali, umur saya 15 tahun.
Tapi sebenarnya umur bukan halangan, saya hanya belum memiliki kekuatan seperti orang yang lebih dewasa. Yang bisa saya lakukan sekarang hanya menunggu, menunggu, menunggu seseorang merespon isi hati saya, mendukung saya dan mewujudkan kembali ideologi negara kembali lurus seperti di era Soekarno. Ku menunggu.

No comments:

Post a Comment